IMPORTANT NOTICE

Kamis, 29 April 2010

Kota Paris Yang Luar Biasa ! Sejarah Kota Paris


Sebuah jembatan yang sesuai untuk lingkungannya

Andaikata Prancis tetap menjadi kerajaan jembatan "Pont de la Concorde" masih memakai nama Louis XVI. Pada tahun 1792, sebelum bernama "ont de la Concorde" jembatan ini dinamai Jembatan Revolusi. Sebagai akibat turun naiknya sejarah, jembatan itu diberi nama baru “Pont Louis XVI” pada tahun 1814 sampai tahun 1830, sebelum kembali ke identitasnya semula. Orang yang menggunakan jembatan ini tidak selalu tahu bahwa batu-batu aslinya diambil dari penjara Bastille yang dihancurkan.

Penemu Kotak Surat

Jean-Jacques Renouard de Villayer telah lama dilupakan. Namun setiap hari banyak orang di Paris harus berterimakasih padanya. Sebenarnya penemuan cemerlang ini kepunyaan Penasehat Parlemen. Pada tahun 1653, sementara hanya ada empat buah kantor pos di Paris untuk kiriman dengan kota-kota provinsi lain dan ke luar negeri, lelaki ini membuat kotak yang ditempel di tembok di sudut-sudut jalan strategis. Setiap orang dapat mengeposkan surat yang diambil tiga kali sehari.Tetapi masalah pengeposan harus diselesaikan. Siapa yang membayar? Sampai saatitu, bilamana surat dikirim, ongkos kirim dibayar ketika surat diserahkan, bukan waktu dikirim. Jean-Jacques Renouard de Villayer kemudian memikirkan kemungkinan adanya ongkos kirim yang dapat ditempelkan di sampul surat. Itulah asal mulanya prangko. Pada tahun 1692 enam kotak surat muncul di Paris. Pada tahun 1780 jumlahnya meningkat sampai 500 buah.

Untuk mencegah pembunuhan anak

Antara tahun 1827 dan 1861, di Paris pernah ada "Tempat meninggalkan bayi". Ini berupa tempat terbuat dari kayu yang ditaruh di dinding rumah sakit untuk menampung bayi yang ditinggalkan orang tuanya.. Ibu yang ingin memberikan bayinya yang baru lahir menempatkan bayinya di pinggir jalan Bayinya kemudian diambil. Berdasarkan dekrit Napoleon sistem yang cerdik yang diadaptasi dari Italia ini dijkalankan secara meluas di Prancis. Tempat ini ditaruh di Paris di rue “Denfer” ( sekarang Boulevard Denfert-Rochereau) di dinding Rumah sakit untuk bayi yang ditemukan dan untuk anak yatim, yang kemudian menjadi Rumah Sakit “Hôpital Saint-Vincent de Paul”. Tempat bayi ini tetap merahasiakan siapa pemilik bayi dan menghinmdarkan pembunuhan bayi. Identitas bayi ttap tak bisa ditemukan. Sistem ini hilang tahun 1861.

Bel Tua

Bel tertua di Paris berdentang sejak tahun 1331. Bel itu ditempatkan di sebuah jalan kecil di Sainte-Merri Church, sebuah kapel kecil yang masih ada berasal dari gereja tua yang dibangun kembali dengan gaya Gothik Tetapi terlepas dar hal itu, museum seni di situ juga merupakan tempat keramat, terdapat mata air suci di Paris, sisi-sisinya dipahat dan dihiasi dengan alat-alat Nafsu menggambarkan lengan Anne de Bretagne.

Pohon Tertua di Paris

Pohon tertua di Paris berasal dari tahun 1601! Pohon-pohon akasia yang juga disebut pohon locus. Yang dibawa oleh ahli botani Botanist Jean Robin, dari perjalanannya di Amerika Utara dibawah pemerintahan Raja Henri IV. Salah satu dari pohon-pohon yang berharga ini dapat dilihat di daerah tertutup Jardin Des Plantes, dalam perjalanan ke Museum Orleans. Yang lainnya adalah di alun-alun kecil Saint-Julien le Pauvre, di wilayah utara. Di kuburan “Père Lachaise” terdapat pohon yang disebutkan tadi. Pohon itu tumbuh menghadap kapel yang besar di daerah Countess Demidoff. Pohon itu praktis menaungi makam, dan menurut legenda, dengan melalui getah pohon tulang belulang si mati dapat dibawa ke cabang-cabang paling atas. Karenanya menurut orang yang biasa dengan necropolis, dari puncak pohon dapat dilihat tengkorak bergantungan. Soal adanya cukilan di pohon dulu, orang memaksudkannya adalah tulisan di batu nisan yang harus dilestarikan.

Jalan untuk penyewa posthuman

Saint Julien Le Pauvre Square, Paris - PARISIA presents History of Paris France, Historical Paris France.

Saint Julien Le Pauvre

Jalan "Emile-richard", yang terletak antara "Boulevard Edgar Quinet" dan "Rue Froidevaux" di distrik XIV sepanjang 382 meter. Manusia yang tak kekal mempunyai hanya satu nomor alamat, untuk tempa tinggalnya yang bukan tempat hunian…. Nomor 1. Alamat ini juga terbuka di "Boulevard Edgar Quinet" di Nomor 1bis dan tak lain dari alamat sebuah tukang batu monumental yang juga menjual bunga di sebuah butik yang luas. Jalan ini merupakan sebuah jalan paling aneh di Paris, terbentang sepanjang dinding besar dari satu ujung ke ujung lainnya dan ditumbuhi dengan pohon-pohon tinggi yang memotong makam Montparnasse. Tidak terdapat jendela juga tak ada balkon. Kehati-hatiannya seolah meneduhi pelukan suci.

Avenue, hanya nama saja

Sebuah avenue asdalah sebuah jalan kota yang lebar yang ditumbuhi pepohonan.Di Paris ternyata terdapat sebuah avenue yang tak cocok dengan definisi tersebut. Itulah "Avenue de l’Opera".



Klinik kereta bayi

Ada sebuah toko unik, yakni toko yang memprbaiki kereta bayi seta kereta dorong bayi. Yangdapat ditemukan di "Rue du Chalet" nomor 16 di distrik X. di belakang "Boulevard de la Villette", di wilayah yang beraneka warna dimana banyak toko kerajina serta rumah-rumah kelabu. Klinik tersebut populer dan orang berjalan jauh untuk membawa kereta bayi mereka diprbaiki serta minta pada empunya toko, Mr. Caron, untuk mengganti roda, mengganti tudung kereta, untuk mengelas besinya atau memperbaiki kereta dorong yang sudah tua. Tuan dan Nyonya Caron sudah berkecimpung dalam bisnis ini lebih dari empat puluh tahun dan kereta bayi atau kereta dorong sudah tak menjadi rahasia bagi mereka. Mereka bekerja di tempat yang sudah tua yang merupakan tempat tinggal merangkap bengkelnya. Dokter kepala klinik ini menciptakan kereta kembar dan juga untuk empat bayi. Dua berhadap-hadapan.


Minggu, 25 April 2010

Di Atas Sajadah Cinta

Penulis: Habiburrahman El Shirazy



KOTA KUFAH terang oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup dari utara membawa hawa sejuk. Sebagian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun geliat hidup kota Kufah masih terasa.

Di serambi masjid Kufah, seorang pemuda berdiri tegap menghadap kiblat. Kedua matanya memandang teguh ke tempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Hati dan seluruh gelegak jiwanya menyatu dengan Tuhan, Pencipta alam semesta. Orang-orang memanggilnya “Zahid” atau “Si Ahli Zuhud”, karena kezuhudannya meskipun ia masih muda. Dia dikenal masyarakat sebagai pemuda yang paling tampan dan paling mencintai masjid di kota Kufah pada masanya. Sebagian besar waktunya ia habiskan di dalam masjid, untuk ibadah dan menuntut ilmu pada ulama terkemuka kota Kufah. Saat itu masjid adalah pusat peradaban, pusat pendidikan, pusat informasi dan pusat perhatian.

Pemuda itu terus larut dalam samudera ayat Ilahi. Setiap kali sampai pada ayat-ayat azab, tubuh pemuda itu bergetar hebat. Air matanya mengalir deras. Neraka bagaikan menyala-nyala dihadapannya. Namun jika ia sampai pada ayat-ayat nikmat dan surga, embun sejuk dari langit terasa bagai mengguyur sekujur tubuhnya. Ia merasakan kesejukan dan kebahagiaan. Ia bagai mencium aroma wangi para bidadari yang suci.

Tatkala sampai pada surat Asy Syams, ia menangis,

“fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha.

qad aflaha man zakkaaha.

wa qad khaaba man dassaaha

…”

(maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaan,

sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,

dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya

…)

Hatinya bertanya-tanya. Apakah dia termasuk golongan yang mensucikan jiwanya. Ataukah golongan yang mengotori jiwanya? Dia termasuk golongan yang beruntung, ataukah yang merugi?

Ayat itu ia ulang berkali-kali. Hatinya bergetar hebat. Tubuhnya berguncang. Akhirnya ia pingsan.



***



Sementara itu, di pinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana. Lampu-lampu yang menyala dari kejauhan tampak berkerlap-kerlip bagai bintang gemintang. Rumah itu milik seorang saudagar kaya yang memiliki kebun kurma yang luas dan hewan ternak yang tak terhitung jumlahnya.

Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita sedang menari-nari riang gembira. Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar yang terpancar bagai tiga lentera yang menerangi ruangan itu. Kecantikannya sungguh memesona. Gadis itu terus menari sambil mendendangkan syair-syair cinta,

“in kuntu ‘asyiqatul lail fa ka’si

musyriqun bi dhau’

wal hubb al wariq

…”

(jika aku pencinta malam maka

gelasku memancarkan cahaya

dan cinta yang mekar …)



***



Gadis itu terus menari-nari dengan riangnya. Hatinya berbunga-bunga. Di ruangan tengah, kedua orangtuanya menyungging senyum mendengar syair yang didendangkan putrinya. Sang ibu berkata, “Abu Afirah, putri kita sudah menginjak dewasa. Kau dengarkanlah baik-baik syair-syair yang ia dendangkan.”

“Ya, itu syair-syair cinta. Memang sudah saatnya dia menikah. Kebetulan tadi siang di pasar aku berjumpa dengan Abu Yasir. Dia melamar Afirah untuk putranya, Yasir.”

“Bagaimana, kau terima atau…?”

“Ya jelas langsung aku terima. Dia ‘kan masih kerabat sendiri dan kita banyak berhutang budi padanya. Dialah yang dulu menolong kita waktu kesusahan. Di samping itu Yasir itu gagah dan tampan.”

“Tapi bukankah lebih baik kalau minta pendapat Afirah dulu?”

“Tak perlu! Kita tidak ada pilihan kecuali menerima pinangan ayah Yasir. Pemuda yang paling cocok untuk Afirah adalah Yasir.”

“Tapi, engkau tentu tahu bahwa Yasir itu pemuda yang tidak baik.”

“Ah, itu gampang. Nanti jika sudah beristri Afirah, dia pasti juga akan tobat! Yang penting dia kaya raya.”



***



Pada saat yang sama, di sebuah tenda mewah, tak jauh dari pasar Kufah. Seorang pemuda tampan dikelilingi oleh teman-temannya. Tak jauh darinya seorang penari melenggak lenggokan tubuhnya diiringi suara gendang dan seruling.

“Ayo bangun, Yasir. Penari itu mengerlingkan matanya padamu!” bisik temannya.

“Be…benarkah?”

“Benar. Ayo cepatlah. Dia penari tercantik kota ini. Jangan kau sia-siakan kesempatan ini, Yasir!”

“Baiklah. Bersenang-senang dengannya memang impianku.”

Yasir lalu bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri sang penari. Sang penari mengulurkan tangan kanannya dan Yasir menyambutnya. Keduanya lalu menari-nari diiringi irama seruling dan gendang. Keduanya benar-benar hanyut dalam kelenaan. Dengan gerakan mesra penari itu membisikkan sesuatu ketelinga Yasir,

“Apakah Anda punya waktu malam ini bersamaku?”

Yasir tersenyum dan menganggukan kepalanya. Keduanya terus menari dan menari. Suara gendang memecah hati. Irama seruling melengking-lengking. Aroma arak menyengat nurani. Hati dan pikiran jadi mati.



***

Keesokan harinya.

Usai shalat dhuha, Zahid meninggalkan masjid menuju ke pinggir kota. Ia hendak menjenguk saudaranya yang sakit. Ia berjalan dengan hati terus berzikir membaca ayat-ayat suci Al-Quran. Ia sempatkan ke pasar sebentar untuk membeli anggur dan apel buat saudaranya yang sakit.

Zahid berjalan melewati kebun kurma yang luas. Saudaranya pernah bercerita bahwa kebun itu milik saudagar kaya, Abu Afirah. Ia terus melangkah menapaki jalan yang membelah kebun kurma itu. Tiba-tiba dari kejauhan ia melihat titik hitam. Ia terus berjalan dan titik hitam itu semakin membesar dan mendekat. Matanya lalu menangkap di kejauhan sana perlahan bayangan itu menjadi seorang sedang menunggang kuda. Lalu sayup-sayup telinganya menangkap suara,

“Toloong! Toloong!!”

Suara itu datang dari arah penunggang kuda yang ada jauh di depannya. Ia menghentikan langkahnya. Penunggang kuda itu semakin jelas.

“Toloong! Toloong!!”

Suara itu semakin jelas terdengar. Suara seorang perempuan. Dan matanya dengan jelas bisa menangkap penunggang kuda itu adalah seorang perempuan. Kuda itu berlari kencang.

“Toloong! Toloong hentikan kudaku ini! Ia tidak bisa dikendalikan!”

Mendengar itu Zahid tegang. Apa yang harus ia perbuat. Sementara kuda itu semakin dekat dan tinggal beberapa belas meter di depannya. Cepat-cepat ia menenangkan diri dan membaca shalawat. Ia berdiri tegap di tengah jalan. Tatkala kuda itu sudah sangat dekat ia mengangkat tangan kanannya dan berkata keras,

“Hai kuda makhluk Allah, berhentilah dengan izin Allah!”

Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu meringkik dan berhenti seketika. Perempuan yang ada dipunggungnya terpelanting jatuh. Perempuan itu mengaduh. Zahid mendekati perempuan itu dan menyapanya,

“Assalamu’alaiki. Kau tidak apa-apa?”

Perempuan itu mengaduh. Mukanya tertutup cadar hitam. Dua matanya yang bening menatap Zahid. Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan,

“Alhamdulillah, tidak apa-apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali. Mungkin terkilir saat jatuh.”

“Syukurlah kalau begitu.”

Dua mata bening di balik cadar itu terus memandangi wajah tampan Zahid. Menyadari hal itu Zahid menundukkan pandangannya ke tanah. Perempuan itu perlahan bangkit. Tanpa sepengetahuan Zahid, ia membuka cadarnya. Dan tampaklah wajah cantik nan memesona,

“Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama Tuan, dari mana dan mau ke mana Tuan?”

Zahid mengangkat mukanya. Tak ayal matanya menatap wajah putih bersih memesona. Hatinya bergetar hebat. Syaraf dan ototnya terasa dingin semua. Inilah untuk pertama kalinya ia menatap wajah gadis jelita dari jarak yang sangat dekat. Sesaat lamanya keduanya beradu pandang. Sang gadis terpesona oleh ketampanan Zahid, sementara gemuruh hati Zahid tak kalah hebatnya. Gadis itu tersenyum dengan pipi merah merona, Zahid tersadar, ia cepat-cepat menundukkan kepalanya. “Innalillah. Astagfirullah,” gemuruh hatinya.

“Namaku Zahid, aku dari masjid mau mengunjungi saudaraku yang sakit.”

“Jadi, kaukah Zahid yang sering dibicarakan orang itu? Yang hidupnya cuma di dalam masjid?”

“Tak tahulah. Itu mungkin Zahid yang lain.” kata Zahid sambil membalikkan badan. Ia lalu melangkah.

“Tunggu dulu Tuan Zahid! Kenapa tergesa-gesa? Kau mau kemana? Perbincangan kita belum selesai!”

“Aku mau melanjutkan perjalananku!”

Tiba-tiba gadis itu berlari dan berdiri di hadapan Zahid. Terang saja Zahid gelagapan. Hatinya bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada di depannya. Seumur hidup ia belum pernah menghadapi situasi seperti ini.

“Tuan aku hanya mau bilang, namaku Afirah. Kebun ini milik ayahku. Dan rumahku ada di sebelah selatan kebun ini. Jika kau mau silakan datang ke rumahku. Ayah pasti akan senang dengan kehadiranmu. Dan sebagai ucapan terima kasih aku mau menghadiahkan ini.”

Gadis itu lalu mengulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau muda.

“Tidak usah.”

“Terimalah, tidak apa-apa! Kalau tidak Tuan terima, aku tidak akan memberi jalan!”

Terpaksa Zahid menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu minggir sambil menutup kembali mukanya dengan cadar. Zahid melangkahkan kedua kakinya melanjutkan perjalanan.



***



Saat malam datang membentangkan jubah hitamnya, kota Kufah kembali diterangi sinar rembulan. Angin sejuk dari utara semilir mengalir.

Afirah terpekur di kamarnya. Matanya berkaca-kaca. Hatinya basah. Pikirannya bingung. Apa yang menimpa dirinya. Sejak kejadian tadi pagi di kebun kurma hatinya terasa gundah. Wajah bersih Zahid bagai tak hilang dari pelupuk matanya. Pandangan matanya yang teduh menunduk membuat hatinya sedemikian terpikat. Pembicaraan orang-orang tentang kesalehan seorang pemuda di tengah kota bernama Zahid semakin membuat hatinya tertawan. Tadi pagi ia menatap wajahnya dan mendengarkan tutur suaranya. Ia juga menyaksikan wibawanya. Tiba-tiba air matanya mengalir deras. Hatinya merasakan aliran kesejukan dan kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam hati ia berkata,

“Inikah cinta? Beginikah rasanya? Terasa hangat mengaliri syaraf. Juga terasa sejuk di dalam hati. Ya Rabbi, tak aku pungkiri aku jatuh hati pada hamba-Mu yang bernama Zahid. Dan inilah untuk pertama kalinya aku terpesona pada seorang pemuda. Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Ya Rabbi, izinkanlah aku mencintainya.”

Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Ia teringat sapu tangan yang ia berikan pada Zahid. Tiba-tiba ia tersenyum,

“Ah sapu tanganku ada padanya. Ia pasti juga mencintaiku. Suatu hari ia akan datang kemari.”

Hatinya berbunga-bunga. Wajah yang tampan bercahaya dan bermata teduh itu hadir di pelupuk matanya.



***

Sementara itu di dalam masjid Kufah tampak Zahid yang sedang menangis di sebelah kanan mimbar. Ia menangisi hilangnya kekhusyukan hatinya dalam shalat. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sejak ia bertemu dengan Afirah di kebun kurma tadi pagi ia tidak bisa mengendalikan gelora hatinya. Aura kecantikan Afirah bercokol dan mengakar sedemikian kuat dalam relung-relung hatinya. Aura itu selalu melintas dalam shalat, baca Al-Quran dan dalam apa saja yang ia kerjakan. Ia telah mencoba berulang kali menepis jauh-jauh aura pesona Afirah dengan melakukan shalat sekhusyu’-khusyu’-nya namun usaha itu sia-sia.

“Ilahi, kasihanilah hamba-Mu yang lemah ini. Engkau Mahatahu atas apa yang menimpa diriku. Aku tak ingin kehilangan cinta-Mu. Namun Engkau juga tahu, hatiku ini tak mampu mengusir pesona kecantikan seorang makhluk yang Engkau ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah berhadapan dengan daya tarik wajah dan suaranya Ilahi, berilah padaku cawan kesejukan untuk meletakkan embun-embun cinta yang menetes-netes dalam dinding hatiku ini. Ilahi, tuntunlah langkahku pada garis takdir yang paling Engkau ridhai. Aku serahkan hidup matiku untuk-Mu.” Isak Zahid mengharu biru pada Tuhan Sang Pencipta hati, cinta, dan segala keindahan semesta.

Zahid terus meratap dan mengiba. Hatinya yang dipenuhi gelora cinta terus ia paksa untuk menepis noda-noda nafsu. Anehnya, semakin ia meratap embun-embun cinta itu semakin deras mengalir. Rasa cintanya pada Tuhan. Rasa takut akan azab-Nya. Rasa cinta dan rindu-Nya pada Afirah. Dan rasa tidak ingin kehilangannya. Semua bercampur dan mengalir sedemikian hebat dalam relung hatinya. Dalam puncak munajatnya ia pingsan.

Menjelang subuh, ia terbangun. Ia tersentak kaget. Ia belom shalat tahajjud. Beberapa orang tampak tengah asyik beribadah bercengkerama dengan Tuhannya. Ia menangis, ia menyesal. Biasanya ia sudah membaca dua juz dalam shalatnya.

“Ilahi, jangan kau gantikan bidadariku di surga dengan bidadari dunia. Ilahi, hamba lemah maka berilah kekuatan!”

Ia lalu bangkit, wudhu, dan shalat tahajjud. Di dalam sujudnya ia berdoa,

“Ilahi, hamba mohon ridha-Mu dan surga. Amin. Ilahi lindungi hamba dari murkamu dan neraka. Amin. Ilahi, jika boleh hamba titipkan rasa cinta hamba pada Afirah pada-Mu, hamba terlalu lemah untuk menanggung-Nya. Amin. Ilahi, hamba memohon ampunan-Mu, rahmat-Mu, cinta-Mu, dan ridha-Mu. Amin.”



***



Pagi hari, usai shalat dhuha Zahid berjalan ke arah pinggir kota. Tujuannya jelas yaitu melamar Afirah. Hatinya mantap untuk melamarnya. Di sana ia disambut dengan baik oleh kedua orangtua Afirah. Mereka sangat senang dengan kunjungan Zahid yang sudah terkenal ketakwaannya di seantero penjuru kota. Afiah keluar sekejab untuk membawa minuman lalu kembali ke dalam. Dari balik tirai ia mendengarkan dengan seksama pembicaraan Zahid dengan ayahnya. Zahid mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu melamar Afirah.

Sang ayah diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara Afirah menanti dengan seksama jawaban ayahnya. Keheningan mencekam sesaat lamanya. Zahid menundukkan kepala ia pasrah dengan jawaban yang akan diterimanya. Lalu terdengarlah jawaban ayah Afirah,

“Anakku Zahid, kau datang terlambat. Maafkan aku, Afirah sudah dilamar Abu Yasir untuk putranya Yasir beberapa hari yang lalu, dan aku telah menerimanya.”

Zahid hanya mampu menganggukan kepala. Ia sudah mengerti dengan baik apa yang didengarnya. Ia tidak bisa menyembunyikan irisan kepedihan hatinya. Ia mohon diri dengan mata berkaca-kaca. Sementara Afirah, lebih tragis keadaannya. Jantungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua kakinya seperti lumpuh seketika. Ia pun pingsan saat itu juga.



***



Zahid kembali ke masjid dengan kesedihan tak terkira. Keimanan dan ketakwaan Zahid ternyata tidak mampu mengusir rasa cintanya pada Afirah. Apa yang ia dengar dari ayah Afirah membuat nestapa jiwanya. Ia pun jatuh sakit. Suhu badannya sangat panas. Berkali-kali ia pingsan. Ketika keadaannya kritis seorang jamaah membawa dan merawatnya di rumahnya. Ia sering mengigau. Dari bibirnya terucap kalimat tasbih, tahlil, istigfhar dan … Afirah.

Kabar tentang derita yang dialami Zahid ini tersebar ke seantero kota Kufah. Angin pun meniupkan kabar ini ke telinga Afirah. Rasa cinta Afirah yang tak kalah besarnya membuatnya menulis sebuah surat pendek,







Kepada Zahid,



Assalamu’alaikum



Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku. Rasa cinta itulah yang membuatmu sakit dan menderita saat ini. Aku tahu kau selalu menyebut diriku dalam mimpi dan sadarmu. Tak bisa kuingkari, aku pun mengalami hal yang sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan kuingin kaulah pendamping hidupku selama-lamanya.

Zahid,

Kalau kau mau. Aku tawarkan dua hal padamu untuk mengobati rasa haus kita berdua. Pertama, aku akan datang ke tempatmu dan kita bisa memadu cinta. Atau kau datanglah ke kamarku, akan aku tunjukkan jalan dan waktunya.



Wassalam

Afirah



===============================================================



Surat itu ia titipkan pada seorang pembantu setianya yang bisa dipercaya. Ia berpesan agar surat itu langsung sampai ke tangan Zahid. Tidak boleh ada orang ketiga yang membacanya. Dan meminta jawaban Zahid saat itu juga.

Hari itu juga surat Afirah sampai ke tangan Zahid. Dengan hati berbunga-bunga Zahid menerima surat itu dan membacanya. Setelah tahu isinya seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia menarik nafas panjang dan beristighfar sebanyak-banyaknya. Dengan berlinang air mata ia menulis untuk Afirah :







Kepada Afirah,



Salamullahi’alaiki,



Benar aku sangat mencintaimu. Namun sakit dan deritaku ini tidaklah semata-mata karena rasa cintaku padamu. Sakitku ini karena aku menginginkan sebuah cinta suci yang mendatangkan pahala dan diridhai Allah ‘Azza Wa Jalla’. Inilah yang kudamba. Dan aku ingin mendamba yang sama. Bukan sebuah cinta yang menyeret kepada kenistaan dosa dan murka-Nya.

Afirah,

Kedua tawaranmu itu tak ada yang kuterima. Aku ingin mengobati kehausan jiwa ini dengan secangkir air cinta dari surga. Bukan air timah dari neraka. Afirah, “Inni akhaafu in ‘ashaitu Rabbi adzaaba yaumin ‘adhim!” ( Sesungguhnya aku takut akan siksa hari yang besar jika aku durhaka pada Rabb-ku. Az Zumar : 13 )

Afirah,

Jika kita terus bertakwa. Allah akan memberikan jalan keluar. Tak ada yang bisa aku lakukan saat ini kecuali menangis pada-Nya. Tidak mudah meraih cinta berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan firmannya :

“Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (yaitu surga).”

Karena aku ingin mendapatkan seorang bidadari yang suci dan baik maka aku akan berusaha kesucian dan kebaikan. Selanjutnya Allahlah yang menentukan.

Afirah,

Bersama surat ini aku sertakan sorbanku, semoga bisa jadi pelipur lara dan rindumu. Hanya kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.



Wassalam,

Zahid



===============================================================



Begitu membaca jawaban Zahid itu Afirah menangis. Ia menangis bukan karena kecewa tapi menangis karena menemukan sesuatu yang sangat berharga, yaitu hidayah. Pertemuan dan percintaannya dengan seorang pemuda saleh bernama Zahid itu telah mengubah jalan hidupnya.

Sejak itu ia menanggalkan semua gaya hidupnya yang glamor. Ia berpaling dari dunia dan menghadapkan wajahnya sepenuhnya untuk akhirat. Sorban putih pemberian Zahid ia jadikan sajadah, tempat dimana ia bersujud, dan menangis di tengah malam memohon ampunan dan rahmat Allah SWT. Siang ia puasa malam ia habiskan dengan bermunajat pada Tuhannya. Di atas sajadah putih ia menemukan cinta yang lebih agung dan lebih indah, yaitu cinta kepada Allah SWT. Hal yang sama juga dilakukan Zahid di masjid Kufah. Keduanya benar-benar larut dalam samudera cinta kepada Allah SWT.

Allah Maha Rahman dan Rahim. Beberapa bulan kemudian Zahid menerima sepucuk surat dari Afirah :







Kepada Zahid,



Assalamu’alaikum,



Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan yang memberi jalan keluar hamba-Nya yang bertakwa. Hari ini ayahku memutuskan tali pertunanganku dengan Yasir. Beliau telah terbuka hatinya. Cepatlah kau datang melamarku. Dan kita laksanakan pernikahan mengikuti sunnah Rasululullah SAW. Secepatnya.



Wassalam,

Afirah







===============================================================

Seketika itu Zahid sujud syukur di mihrab masjid Kufah. Bunga-bunga cinta bermekaran dalam hatinya. Tiada henti bibirnya mengucapkan hamdalah.











Diambil dari buku dengan judul yang sama karya Habiburrahman El Shirazy.

Dapatkan bukunya dan simak 37 cerita keren lainnya.

Penerbit:

1. Penerbit Republika

2. Pesantren Basmala Indonesia

3. MD Entertainment

Cetakan VII, Juni 2006

Ketika Derita Mengabadikan Cinta

“Kini tiba saatnya kita semua mendengarkan nasihat pernikahan untuk kedua
mempelai yang akan disampaikan oleh yang terhormat Prof. Dr. Mamduh Hasan
Al-Ganzouri . Beliau adalah Ketua Ikatan Dokter Kairo dan Dikrektur Rumah
Sakit Qashrul Aini, seorang pakar syaraf terkemuka di Timur Tengah, yang tak lain adalah juga dosen kedua mempelai. Kepada Professor dipersilahkan.
…”

Suara pembawa acara walimatul urs itu menggema di seluruh ruangan resepsi
pernikahan nan mewah di Hotel Hilton Ramses yang terletak di tepi sungai
Nil, Kairo.

Seluruh hadirin menanti dengan penasaran, apa kiranya yang akan
disampaikan pakar syaraf jebolan London itu. Hati mereka menanti-nanti
mungkin akan ada kejutan baru mengenai hubungan pernikahan dengan
kesehatan syaraf dari professor yang murah senyum dan sering nongol di
televisi itu.

Sejurus kemudian, seorang laki-laki separuh baya berambut putih melangkah
menuju podium. Langkahnya tegap. Air muka di wajahnya memancarkan wibawa.
Kepalanya yang sedikit botak, meyakinkan bahwa ia memang seorang ilmuan
berbobot. Sorot matanya yang tajam dan kuat, mengisyaratkan pribadi yang
tegas. Begitu sampai di podium, kamera video dan lampu sorot langsung
shoot ke arahnya. Sesaat sebelum bicara, seperti biasa, ia sentuh gagang
kacamatanya, lalu…

Bismillah, alhamdulillah, washalatu was salamu’ala Rasulillah, amma ba’du.
Sebelumnya saya mohon ma’af , saya tidak bisa memberi nasihat lazimnya
para ulama, para mubhaligh dan para ustadz. Namun pada kesempatan kali ini
perkenankan saya bercerita…
Cerita yang hendak saya sampaikan kali ini bukan fiktif belaka dan bukan
cerita biasa. Tetapi sebuah pengalaman hidup yang tak ternilai harganya,
yang telah saya kecap dengan segenap jasad dan jiwa saya. Harapan saya,
mempelai berdua dan hadirin sekalian yang dimuliakan Allah bisa mengambil
hikmah dan pelajaran yang dikandungnya. Ambilah mutiaranya dan buanglah
lumpurnya.

Saya berharap kisah nyata saya ini bisa melunakkan hati yang keras,
melukiskan nuansa-nuansa cinta dalam kedamaian, serta menghadirkan
kesetiaan pada segenap hati yang menangkapnya.
Tiga puluh tahun yang lalu …
Saya adalah seorang pemuda, hidup di tengah keluarga bangsawan menengah ke
atas. Ayah saya seorang perwira tinggi, keturunan “Pasha” yang terhormat
di negeri ini. Ibu saya tak kalah terhormatnya, seorang lady dari keluarga
aristokrat terkemuka di Ma’adi, ia berpendidikan tinggi, ekonom jebolan
Sorbonne yang memegang jabatan penting dan sangat dihormati kalangan elit
politik di negeri ini.

Saya anak sulung, adik saya dua, lelaki dan perempuan. Kami hidup dalam
suasana aristokrat dengan tatanan hidup tersendiri. Perjalanan hidup
sepenuhnya diatur dengan undang-undang dan norma aristokrat. Keluarga
besar kami hanya mengenal pergaulan dengan kalangan aristokrat atau
kalangan high class yang sepadan!

Entah kenapa saya merasa tidak puas dengan cara hidup seperti ini. Saya
merasa terkukung dan terbelenggu dengan strata sosial yang didewa-dewakan
keluarga. Saya tidak merasakan benar hidup yang saya cari. Saya lebih
merasa hidup justru saat bergaul dengan teman-teman dari kalangan bawah
yang menghadapi hidup dengan penuh rintangan dan perjuangan. Hal ini
ternyata membuat gusar keluarga saya, mereka menganggap saya ceroboh dan
tidak bisa menjaga status sosial keluarga. Pergaulan saya dengan orang
yang selalu basah keringat dalam mencari pengganjal perut dianggap
memalukan keluarga. Namun saya tidak peduli.

Karena ayah memperoleh warisan yan sangat besar dari kakek, dan ibu mampu
mengembangkannya dengan berlipat ganda, maka kami hidup mewah dengan
selera tinggi. Jika musim panas tiba, kami biasa berlibur ke luar negri,
ke Paris, Roma, Sydney atau kota besar dunia lainnya. Jika berlibur di
dalam negeri ke Alexandria misalnya, maka pilihan keluarga kami adalah
hotel San Stefano atau hotel mewah di Montaza yang berdekatan dengan
istana Raja Faruq.

Begitu masuk fakultas kedokteran, saya dibelikan mobil mewah. Berkali-kali
saya minta pada ayah untuk menggantikannya dengan mobil biasa saja, agar
lebih enak bergaul dengan teman-teman dan para dosen. Tetapi beliau
menolak mentah-mentah.

“Justru dengan mobil mewah itu kamu akan dihormati siapa saja” tegas ayah.

Terpaksa saya pakai mobil itu meskipun dalam hati saya membantah
habis-habisan pendapat materialis ayah. Dan agar lebih nyaman di hati,
saya parkir mobil itu agak jauh dari tempat kuliah.

Ketika itu saya jatuh cinta pada teman kuliah. Seorang gadis yang penuh
pesona lahir batin. Saya tertarik dengan kesederhanaan, kesahajaan, dan
kemuliaan ahlaknya. Dari keteduhan wajahnya saya menangkap dalam relung
hatinya tersimpan kesetiaan dan kelembutan tiada tara. Kecantikan dan
kecerdasannya sangat menajubkan. Ia gadis yang beradab dan berprestasi,
sama seperti saya.

Gayung pun bersambut. Dia ternyata juga mencintai saya. Saya merasa telah
menemukan pasangan hidup yang tepat. Kami berjanji untuk menempatkan cinta
ini dalam ikatan suci yang diridhai Allah, yaitu ikatan pernikahan.
Akhirnya kami berdua lulus dengan nilai tertinggi di fakultas. Maka
datanglah saat untuk mewujudkan impian kami berdua menjadi kenyataan. Kami
ingin memadu cinta penuh bahagia di jalan yang lurus.

Saya buka keinginan saya untuk melamar dan menikahi gadis pujaan hati pada
keluarga. Saya ajak dia berkunjung ke rumah. Ayah, ibu, dan
saudara-saudara saya semuanya takjub dengan kecantikan, kelembutan, dan
kecerdasannya. Ibu saya memuji cita rasanya dalam memilih warna pakaian
serta tutur bahasanya yang halus.
Usai kunjungan itu, ayah bertanya tentang pekerjaan ayahnya. Begitu saya
beritahu, serta merta meledaklah badai kemarahan ayah dan membanting gelas
yang ada di dekatnya. Bahkan beliau mengultimatum: Pernikahan ini tidak
boleh terjadi selamanya!

Beliau menegaskan bahwa selama beliau masih hidup rencana pernikahan
dengan gadis berakhlak mulia itu tidak boleh terjadi. Pembuluh otak saya
nyaris pecah pada saat itu menahan remuk redam kepedihan batin yang tak
terkira.

Hadirin semua, apakah anda tahu sebabnya? Kenapa ayah saya berlaku
sedemikian sadis? Sebabnya, karena ayah calon istri saya itu tukang
cukur….tukang cukur, ya… sekali lagi tukang cukur! Saya katakan dengan
bangga. Karena, meski hanya tukang cukur, dia seorang lelaki sejati.
Seorang pekerja keras yang telah menunaikan kewajibannya dengan baik
kepada keluarganya. Dia telah mengukir satu prestasi yang tak banyak
dilakukan para bangsawan “Pasha”. Lewat tangannya ia lahirkan tiga dokter,
seorang insinyur dan seorang letnan, meskipun dia sama sekali tidak
mengecap bangku pendidikan.

Ibu, saudara dan semua keluarga berpihak kepada ayah. Saya berdiri
sendiri, tidak ada yang membela. Pada saat yang sama adik saya membawa
pacarnya yang telah hamil 2 bulan ke rumah. Minta direstui. Ayah ibu
langsung merestui dan menyiapkan biaya pesta pernikahannya sebesar 500
ribu ponds. Saya protes kepada mereka, kenapa ada perlakuan tidak adil
seperti ini? Kenapa saya yang ingin bercinta di jalan yang lurus tidak
direstui, sedangkan adik saya yang jelas-jelas telah berzina,
bergonta-ganti pacar dan akhirnya menghamili pacarnya yang entah yang ke
berapa di luar akad nikah malah direstui dan diberi fasilitas maha besar?
Dengan enteng ayah menjawab. “Karena kamu memilih pasangan hidup dari
strata yang salah dan akan menurunkan martabat keluarga, sedangkan pacar
adik kamu yang hamil itu anak menteri, dia akan menaikkan martabat
keluarga besar Al Ganzouri.”
Hadirin semua, semakin perih luka dalam hati saya. Kalau dia bukan ayah
saya, tentu sudah saya maki habis-habisan. Mungkin itulah tanda kiamat
sudah dekat, yang ingin hidup bersih dengan menikah dihalangi, namun yang
jelas berzina justru difasilitasi.

Dengan menyebut asma Allah, saya putuskan untuk membela cinta dan hidup
saya. Saya ingin buktikan pada siapa saja, bahwa cara dan pasangan
bercinta pilihan saya adalah benar. Saya tidak ingin apa-apa selain
menikah dan hidup baik-baik sesuai dengan tuntunan suci yang saya yakini
kebenarannya. Itu saja.

Saya bawa kaki ini melangkah ke rumah kasih dan saya temui ayahnya. Dengan
penuh kejujuran saya jelaskan apa yang sebenarnya terjadi, dengan harapan
beliau berlaku bijak merestui rencana saya. Namun, la haula wala quwwata
illa billah, saya dikejutkan oleh sikap beliau setelah mengetahui
penolakan keluarga saya. Beliaupun menolak mentah-mentah untuk mengawinkan
putrinya dengan saya. Ternyata beliau menjawabnya dengan reaksi lebih
keras, beliau tidak menganggapnya sebagai anak jika tetap nekad menikah
dengan saya.

Kami berdua bingung, jiwa kami tersiksa. Keluarga saya menolak pernikahan
ini terjadi karena alasan status sosial , sedangkan keluarga dia menolak
karena alasan membela kehormatan.

Berhari-hari saya dan dia hidup berlinang air mata, beratap dan bertanya
kenapa orang-orang itu tidak memiliki kesejukan cinta?

Setelah berpikir panjang, akhirnya saya putuskan untuk mengakhiri
penderitaan ini. Suatu hari saya ajak gadis yang saya cintai itu ke kantor
ma’dzun syari (petugas pencatat nikah) disertai 3 orang sahabat karibku.
Kami berikan identitas kami dan kami minta ma’dzun untuk melaksanakan akad
nikah kami secara syari’ah mengikuti mahzab imam Hanafi.
Ketika Ma’dzun menuntun saya, “Mamduh, ucapkanlah kalimat ini: Saya terima
nikah kamu sesuai dengan sunatullah wa rasulih dan dengan mahar yang kita
sepakati bersama serta dengan memakai mahzab Imam Abu Hanifah.”

Seketika itu bercucuranlah air mata saya, air mata dia dan air mata 3
sahabat saya yang tahu persis detail perjalanan menuju akad nikah itu.
Kami keluar dari kantor itu resmi menjadi suami-isteri yang sah di mata
Allah SWT dan manusia. Saya bisikkan ke istri saya agar menyiapkan
kesabaran lebih, sebab rasanya penderitaan ini belum berakhir.
Seperti yang saya duga, penderitaan itu belum berakhir, akad nikah kami
membuat murka keluarga. Prahara kehidupan menanti di depan mata. Begitu
mencium pernikahan kami, saya diusir oleh ayah dari rumah. Mobil dan
segala fasilitas yang ada disita. Saya pergi dari rumah tanpa membawa
apa-apa. Kecuali tas kumal berisi beberapa potong pakaian dan uang
sebanyak 4 pound saja! Itulah sisa uang yang saya miliki sehabis membayar
ongkos akad nikah di kantor ma’dzun.

Begitu pula dengan istriku, ia pun diusir oleh keluarganya. Lebih tragis
lagi ia hanya membawa tas kecil berisi pakaian dan uang sebanyak 2 pound,
tak lebih! Total kami hanya pegang uang 6 pound atau 2 dolar!!!

Ah, apa yang bisa kami lakukan dengan uang 6 pound? Kami berdua bertemu di
jalan layaknya gelandangan. Saat itu adalah bulan Februari, tepat pada
puncak musim dingin. Kami menggigil, rasa cemas, takut, sedih dan sengsara
campur aduk menjadi satu. Hanya saja saat mata kami yang berkaca-kaca
bertatapan penuh cinta dan jiwa menyatu dalam dekapan kasih sayang , rasa
berdaya dan hidup menjalari sukma kami.
“Habibi, maafkan kanda yang membawamu ke jurang kesengsaraan seperti ini.
Maafkan Kanda!”
“Tidak… Kanda tidak salah, langkah yang kanda tempuh benar. Kita telah
berpikir benar dan bercinta dengan benar. Merekalah yang tidak bisa
menghargai kebenaran. Mereka masih diselimuti cara berpikir anak kecil.
Suatu ketika mereka akan tahu bahwa kita benar dan tindakan mereka salah.
Saya tidak menyesal dengan langkah yang kita tempuh ini.
Percayalah, insya Allah, saya akan setia mendampingi kanda, selama kanda
tetap setia membawa dinda ke jalan yang lurus. Kita akan buktikan kepada
mereka bahwa kita bisa hidup dan jaya dengan keyakinan cinta kita. Suatu
ketika saat kita gapai kejayaan itu kita ulurkan tangan kita dan kita
berikan senyum kita pada mereka dan mereka akan menangis haru.
Air mata mereka akan mengalir deras seperti derasnya air mata derita kita
saat ini,” jawab isteri saya dengan terisak dalam pelukan.

Kata-katanya memberikan sugesti luar biasa pada diri saya. Lahirlah rasa
optimisme untuk hidup. Rasa takut dan cemas itu sirna seketika. Apalagi
teringat bahwa satu bulan lagi kami akan diangkat menjadi dokter. Dan
sebagai lulusan terbaik masing-masing dari kami akan menerima penghargaan
dan uang sebanyak 40 pound.

Malam semakin melarut dan hawa dingin semakin menggigit. Kami duduk di
emperan toko berdua sebagai gembel yang tidak punya apa-apa. Dalam
kebekuan, otak kami terus berputar mencari jalan keluar. Tidak mungkin
kami tidur di emperan toko itu. Jalan keluar pun datang juga. Dengan sisa
uang 6 pound itu kami masih bisa meminjam sebuah toko selama 24 jam.

Saya berhasil menghubungi seorang teman yang memberi pinjaman sebanyak 50
pound. Ia bahkan mengantarkan kami mencarikan losmen ala kadarnya yang
murah.

Saat kami berteduh dalam kamar sederhana, segera kami disadarkan kembali
bahwa kami berada di lembah kehidupan yang susah, kami harus mengarunginya
berdua dan tidak ada yang menolong kecuali cinta, kasih sayang dan
perjuangan keras kami berdua serta rahmat Allah SWT.

Kami hidup dalam losmen itu beberapa hari, sampai teman kami berhasil
menemukan rumah kontrakan sederhana di daerah kumuh Syubra Khaimah. Bagi
kaum aristokrat, rumah kontrakan kami mungkin dipandang sepantasnya adalah
untuk kandang binatang kesayangan mereka. Bahkan rumah binatang kesayangan
mereka mungkin lebih bagus dari rumah kontrakan kami.

Namun bagi kami adalah hadiah dari langit. Apapun bentuk rumah itu, jika
seorang gelandangan tanpa rumah menemukan tempat berteduh ia bagai
mendapat hadiah agung dari langit. Kebetulan yang punya rumah sedang
membutuhkan uang, sehingga dia menerima akad sewa tanpa uang jaminan dan
uang administrasi lainnya. Jadi sewanya tak lebih dari 25 pound saja untuk
3 bulan.

Betapa bahagianya kami saat itu, segera kami pindah kesana. Lalu kami
pergi membeli perkakas rumah untuk pertama kalinya. Tak lebih dari sebuah
kasur kasar dari kapas, dua bantal, satu meja kayu kecil, dua kursi dan
satu kompor gas sederhana sekali, kipas dan dua cangkir dari tanah, itu
saja… tak lebih.

Dalam hidup bersahaja dan belum dikatakan layak itu, kami merasa tetap
bahagia, karena kami selalu bersama. Adakah di dunia ini kebahagiaan
melebihi pertemuan dua orang yang diikat kuatnya cinta? Hidup bahagia
adalah hidup dengan gairah cinta. Dan kenapakah orang-orang di dunia
merindukan surga di akhirat? Karena di surga Allah menjanjikan cinta.
Ah, saya jadi teringat perkataan Ibnu Qayyim, bahwa nikmatnya persetubuhan
cinta yang dirasa sepasang suami-isteri di dunia adalah untuk memberikan
gambaran setetes nikmat yang disediakan oleh Allah di surga. Jika
percintaan suami-isteri itu nikmat, maka surga jauh lebih nikmat dari
semua itu. Nikmat cinta di surga tidak bisa dibayangkan. Yang paling
nikmat adalah cinta yang diberikan oleh Allah kepada penghuni surga , saat
Allah memperlihatkan wajah-Nya. Dan tidak semua penghuni surga berhak
menikmati indahnya wajah Allah SWT.

Untuk nikmat cinta itu, Allah menurunkan petunjuknya yaitu Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul. Yang konsisten mengikuti petunjuk Allah-lah yang berhak
memperoleh segala cinta di surga.
Melalui penghayatan cinta ini, kami menemukan jalan-jalan lurus
mendekatkan diri kepada-Nya.

Istri saya jadi rajin membaca Al-Qur’an, lalu memakai jilbab, dan tiada
putus shalat malam. Di awal malam ia menjelma menjadi Rabi’ah Adawiyah
yang larut dalam samudra munajat kepada Tuhan. Pada waktu siang ia adalah
dokter yang penuh pengabdian dan belas kasihan. Ia memang wanita yang
berkarakter dan berkepribadian kuat, ia bertekad untuk hidup berdua tanpa
bantuan siapapun, kecuali Allah SWT. Dia juga seorang wanita yang pandai
mengatur keuangan. Uang sewa sebanyak 25 poud yang tersisa setelah
membayar sewa rumah cukup untuk makan dan transportasi selama sebulan.

Tetanggga-tetangga kami yang sederhana sangat mencintai kami, dan kamipun
mencintai mereka. Mereka merasa kasihan melihat kemelaratan dan derita
hidup kami, padahal kami berdua adalah dokter. Sampai-sampai ada yang
bilang tanpa disengaja,”Ah, kami kira para dokter itu pasti kaya semua,
ternyata ada juga yang melarat sengsara seperti Mamduh dan isterinya.”
Akrabnya pergaulan kami dengan para tetangga banyak mengurangi nestapa
kami. Beberapa kali tetangga kami menawarkan bantuan-bantuan kecil
layaknya saudara sendiri. Ada yang menawarkan kepada isteri agar
menitipkan saja cuciannya pada mesin cuci mereka karena kami memang dokter
yang sibuk. Ada yang membelikan kebutuhan dokter. Ada yang membantu
membersihkan rumah. Saya sangat terkesan dengan pertolongan- pertolongan
mereka.

Kehangatan tetangga itu seolah-olah pengganti kasarnya perlakuan yang kami
terima dari keluarga kami sendiri. Keluarga kami bahkan tidak terpanggil
sama sekali untuk mencari dan mengunjungi kami. Yang lebih menyakitkan
mereka tidak membiarkan kami hidup tenang.

Suatu malam, ketika kami sedang tidur pulas, tiba-tiba rumah kami digedor
dan didobrak oleh 4 bajingan kiriman ayah saya. Mereka merusak segala
perkakas yang ada. Meja kayu satu-satunya, mereka patah-patahkan, begitu
juga dengan kursi. Kasur tempat kami tidur satu-satunya mereka
robek-robek. Mereka mengancam dan memaki kami dengan kata-kata kasar. Lalu
mereka keluar dengan ancaman, “Kalian tak akan hidup tenang, karena berani
menentang Tuan Pasha.”

Yang mereka maksudkan dengan Tuan “Pasha” adalah ayah saya yang kala itu
pangkatnya naik menjadi jendral. Ke-empat bajingan itu pergi. Kami berdua
berpelukan, menangis bareng berbagi nestapa dan membangun kekuatan. Lalu
kami tata kembali rumah yang hancur. Kami kumpulkan lagi kapas-kapas yang
berserakan, kami masukan lagi ke dalam kasur dan kami jahit kasur yang
sobek-sobek tak karuan itu. Kami tata lagi buku-buku yang berantakan. Meja
dan kursi yang rusak itu berusaha kami perbaiki. Lalu kami tertidur
kecapaian dengan tangan erat bergenggaman, seolah eratnya genggaman inilah
sumber rasa aman dan kebahagiaan yang meringankan intimidasi hidup ini.

Benar, firasat saya mengatakan ayah tidak akan membiarkan kami hidup
tenang. Saya mendapat kabar dari seorang teman bahwa ayah telah merancang
skenario keji untuk memenjarakan isteri saya dengan tuduhan wanita tuna
susila. Semua orang juga tahu kuatnya intelijen militer di negeri ini.
Mereka berhak melaksanakan apa saja dan undang-undang berada di telapak
kaki mereka. Saya hanya bisa pasrah total kepada Allah mendengar hal itu.

Dan Masya Allah! Ayah telah merancang skenario itu dan tidak mengurungkan
niat jahatnya itu, kecuali setelah seorang teman karibku berhasil
memperdaya beliau dengan bersumpah akan berhasil membujuk saya agar
menceraikan isteri saya. Dan meminta ayah untuk bersabar dan tidak
menjalankan skenario itu , sebab kalau itu terjadi pasti pemberontakan
saya akan menjadi lebih keras dan bisa berbuat lebih nekad.

Tugas temanku itu adalah mengunjungi ayahku setiap pekan sambil meminta
beliau sabar, sampai berhasil meyakinkan saya untuk mencerai isteriku.
Inilah skenario temanku itu untuk terus mengulur waktu, sampai ayah turun
marahnya dan melupakan rencana kejamnya. Sementara saya bisa mempersiapkan
segala sesuatu lebih matang.

Beberapa bulan setelah itu datanglah saat wajib militer. Selama satu tahun
penuh saya menjalani wajib militer. Inilah masa yang saya takutkan, tidak
ada pemasukan sama sekali yang saya terima kecuali 6 pound setiap bulan.
Dan saya mesti berpisah dengan belahan jiwa yang sangat saya cintai.
Nyaris selama 1 tahun saya tidak bisa tidur karena memikirkan keselamatan
isteri tercinta.

Tetapi Allah tidak melupakan kami, Dialah yang menjaga keselamatan
hamba-hamba- Nya yang beriman. Isteri saya hidup selamat bahkan dia
mendapatkan kesempatan magang di sebuah klinik kesehatan dekat rumah kami.
Jadi selama satu tahun ini, dia hidup berkecukupan dengan rahmat Allah
SWT.

Selesai wajib militer, saya langsung menumpahkan segenap rasa rindu kepada
kekasih hati. Saat itu adalah musim semi. Musim cinta dan keindahan. Malam
itu saya tatap matanya yang indah, wajahnya yang putih bersih. Ia
tersenyum manis. Saya reguk segala cintanya. Saya teringat puisi seorang
penyair Palestina yang memimpikan hidup bahagia dengan pendamping setia &
lepas dari belenggu derita:

Sambil menatap kaki langit
Kukatakan kepadanya
Di sana… di atas lautan pasir kita akan berbaring
Dan tidur nyenyak sampai subuh tiba
Bukan karna ketiadaan kata-kata
Tapi karena kupu-kupu kelelahan
Akan tidur di atas bibir kita
Besok, oh cintaku… besok
Kita akan bangun pagi sekali
Dengan para pelaut dan perahu layar mereka
Dan akan terbang bersama angin
Seperti burung-burung

Yah… saya pun memimpikan demikian. Ingin rasanya istirahat dari nestapa
dan derita. Saya utarakan mimpi itu kepada istri tercinta. Namun dia
ternyata punya pandangan lain. Dia malah bersih keras untuk masuk program
Magister bersama!

“Gila… ide gila!!!” pikirku saat itu. Bagaimana tidak…ini adalah saat
paling tepat untuk pergi meninggalkan Mesir dan mencari pekerjaan sebagai
dokter di negara Teluk, demi menjauhi permusuhan keluarga yang tidak
berperasaan. Tetapi istri saya tetap bersikukuh untuk meraih gelar
Magister dan menjawab logika yang saya tolak:

“Kita berdua paling berprestasi dalam angkatan kita dan mendapat tawaran
dari Fakultas sehingga akan mendapatkan keringanan biaya, kita harus sabar
sebentar menahan derita untuk meraih keabadian cinta dalam kebahagiaan.
Kita sudah kepalang basah menderita, kenapa tidak sekalian kita rengguk
sum-sum penderitaan ini. Kita sempurnakan prestasi akademis kita, dan kita
wujudkan mimpi indah kita.”

Ia begitu tegas. Matanya yang indah tidak membiaskan keraguan atau
ketakutan sama sekali. Berhadapan dengan tekad baja istriku, hatiku pun
luluh. Kupenuhi ajakannya dengan perasaan takjub akan kesabaran dan
kekuatan jiwanya.

Jadilah kami berdua masuk Program Magister. Dan mulailah kami memasuki
hidup baru yang lebih menderita. Pemasukan pas-pasan, sementara kebutuhan
kuliah luar biasa banyaknya, dana untuk praktek, buku, dll. Nyaris kami
hidup laksana kaum Sufi, makan hanya dengan roti dan air. Hari-hari yang
kami lalui lebih berat dari hari-hari awal pernikahan kami. Malam hari
kami lalui bersama dengan perut kosong, teman setia kami adalah air keran.

Masih terekam dalam memori saya, bagaimana kami belajar bersama dalam
suatu malam sampai didera rasa lapar yang tak terperikan, kami obati
dengan air. Yang terjadi malah kami muntah-muntah. Terpaksa uang untuk
beli buku kami ambil untuk pengganjal perut.

Siang hari, jangan tanya… kami terpaksa puasa. Dari keterpaksaan itu,
terjelmalah kebiasaan dan keikhlasan.

Meski demikian melaratnya, kami merasa bahagia. Kami tidak pernah menyesal
atau mengeluh sedikitpun. Tidak pernah saya melihat istri saya mengeluh,
menagis dan sedih ataupun marah karena suatu sebab. Kalaupun dia menangis,
itu bukan karena menyesali nasibnya, tetapi dia malah lebih kasihan kepada
saya. Dia kasihan melihat keadaan saya yang asalnya terbiasa hidup mewah,
tiba-tiba harus hidup sengsara layaknya gelandangan.

Sebaliknya, sayapun merasa kasihan melihat keadaannya, dia yang asalnya
hidup nyaman dengan keluarganya, harus hidup menderita di rumah kontrakan
yang kumuh dan makan ala kadarnya.

Timbal balik perasaan ini ternya menciptakan suasana mawaddah yang luar
biasa kuatnya dalam diri kami. Saya tidak bisa lagi melukiskan rasa
sayang, hormat, dan cinta yang mendalam padanya.

Setiap kali saya angkat kepala dari buku, yang tampak di depan saya adalah
wajah istri saya yang lagi serius belajar. Kutatap wajahnya dalam-dalam.
Saya kagum pada bidadari saya ini. Merasa diperhatikan, dia akan
mengangkat pandangannya dari buku dan menatap saya penuh cinta dengan
senyumnya yang khas. Jika sudah demikian, penderitaan terlupakan semua.
Rasanya kamilah orang yang paling berbahagia di dunia ini.

“Allah menyertai orang-orang yang sabar, sayang…” bisiknya mesra sambil
tersenyum.

Lalu kami teruskan belajar dengan semangat membara.

Allah Maha Penyayang, usaha kami tidak sia-sia. Kami berdua meraih gelar
Magister dengan waktu tercepat di Mesir. Hanya 2 tahun saja! Namun, kami
belum keluar dari derita. Setelah meraih gelar Magister pun kami masih
hidup susah, tidur di atas kasur tipis dan tidak ada istilah makan enak
dalam hidup kami.

Sampai akhirnya rahmat Allah datang juga. Setelah usaha keras, kami
berhasil meneken kontrak kerja di sebuah rumah sakit di Kuwait. Dan untuk
pertama kalinya, setelah 5 tahun berselimut derita dan duka, kami mengenal
hidup layak dan tenang. Kami hidup di rumah yang mewah, merasakan kembali
tidur di kasur empuk dan kembali mengenal masakan lezat.

Dua tahun setelah itu, kami dapat membeli villa berlantai dua di
Heliopolis, Kairo. Sebenarnya, saya rindu untuk kembali ke Mesir setelah
memiliki rumah yang layak. Tetapi istriku memang ‘edan’. Ia kembali
mengeluarkan ide gila, yaitu ide untuk melanjutkan program Doktor
Spesialis di London, juga dengan logika yang sulit saya tolak:

“Kita dokter yang berprestasi. Hari-hari penuh derita telah kita lalui,
dan kita kini memiliki uang yang cukup untuk mengambil gelar Doktor di
London. Setelah bertahun-tahun hidup di lorong kumuh, tak ada salahnya
kita raih sekalian jenjang akademis tertinggi sambil merasakan hidup di
negara maju. Apalagi pihak rumah sakit telah menyediakan dana tambahan.”

Kucium kening istriku, dan bismillah… kami berangkat ke London.
Singkatnya, dengan rahmat Allah, kami berdua berhasil menggondol gelar
Doktor dari London. Saya spesialis syaraf dan istri saya spesialis
jantung.

Setelah memperoleh gelar doktor spesialis, kami meneken kontrak kerja baru
di Kuwait dengan gaji luar biasa besarnya. Bahkan saya diangkat sebagai
direktur rumah sakit, dan istri saya sebagai wakilnya! Kami juga mengajar
di Universitas.

Kami pun dikaruniai seorang putri yang cantik dan cerdas. Saya namai dia
dengan nama istri terkasih, belahan jiwa yang menemaniku dalam suka dan
duka, yang tiada henti mengilhamkan kebajikan.

Lima tahun setelah itu, kami pindah kembali ke Kairo setelah sebelumnya
menunaikan ibadah haji di Tanah Haram. Kami kembali laksana raja dan permaisurinya yang pulang dari lawatan keliling dunia. Kini kami hidup
bahagia, penuh cinta dan kedamaian setelah lebih dari 9 tahun hidup
menderita, melarat dan sengsara.

Mengenang masa lalu, maka bertambahlah rasa syukur kami kepada Allah swt
dan bertambahlan rasa cinta kami.

Ini kisah nyata yang saya sampaikan sebagai nasehat hidup. Jika hadirin
sekalian ingin tahu istri saleha yang saya cintai dan mencurahkan cintanya dengan tulus, tanpa pernah surut sejak pertemuan pertama sampai saat ini,
di kala suka dan duka, maka lihatlah wanita berjilbab biru yang menunduk
di barisan depan kaum ibu, tepat di sebelah kiri artis berjilbab Huda
Sulthan. Dialah istri saya tercinta yang mengajarkan bahwa penderitaan
bisa mengekalkan cinta. Dialah Prof Dr Shiddiqa binti Abdul Aziz…”

Tepuk tangan bergemuruh mengiringi gerak kamera video menyorot sosok
perempuan separoh baya yang tampak anggun dengan jilbab biru. Perempuan
itu tengah mengusap kucuran air matanya. Kamera juga merekam mata Huda
Sulthan yang berkaca-kaca, lelehan air mata haru kedua mempelai, dan
segenap hadirin yang menghayati cerita ini dengan seksama.

Jodoh


Penulis : Inayati



Hidup memang penuh kejutan, setidaknya bagiku. Semuanya berawal dari pembicaraanku dengan Mama sebulan yang lalu. Aku dan Mama sedang sarapan saat Mama tiba-tiba membuka pembicaraan.

“Sampai kapan Mama harus mengurus kamu, Bram?” Pertanyaan Mama membuatku tertegun.

”Maksud Mama?” aku menatap Mama. Mencoba menerka arah pembicaraannya.

”Yah, bukankah sudah saatnya ada perempuan lain yang menemani kamu sarapan?” Mama tersenyum menatapku.

Mungkin memang sudah waktunya aku menikah. Tahun ini usiaku tiga puluh lima tahun. Penghasilanku sebagai manager di salah satu perusahaan asing cukup memadai untuk berumah tangga. Apalagi yang ditunggu? Pertanyaan ini sudah sangat sering kudengar dari kerabat ataupun kolegaku.

Aku tersenyum kecil.

”Mama tahu, kamu merasa bertanggungjawab kepada Mama dan adik-adikmu. Tetapi jangan lupakan yang satu itu. Mira sudah berkeluarga, Dewi juga. Sementara Mama sudah lebih dari cukup menerima perhatianmu. Mama sangat bersyukur memiliki anak sepertimu.”

Aku terdiam.

”Bram, Papa titip Mira dan Dewi…juga Mama…” Papa berbisik perlahan sehari sebelum kematiannya, sepuluh tahun yang lalu. Saat itu, Mira baru saja masuk kuliah dan Dewi masih kelas satu SMU. Sejak itu, hari-hariku kuisi dengan kerja keras untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

”Bram…” Mama menunggu jawabanku.

”Iya, iya, Insya Allah. Ma…”

Mama benar. Tidak ada lagi alasan bagiku untuk menunda rencana berkeluarga. Dewi sudah menikah tiga bulan yang lalu. Amanah Papa sudah kutunaikan. Persoalannya adalah, siapa wanita yang akan kunikahi? Aku tidak pernah pacaran. Aku takut terjebak melakukan perbuatan yang tidak baik. Alternatif calon juga tidak ada. Jadi, siapa yang akan kulamar?

Sebenarnya, aku bisa minta bantuan kepada orang lain. Mama, kerabat atau kolegaku dengan senang hati pasti akan berusaha membantu. Tetapi, sebelum meminta bantuan orang lain, aku akan sholat istikharah dulu. Aku ingin melangkah dengan tenang.

Dan terjadilah keajaiban itu. Setelah dua kali sholat, tiba-tiba Laras muncul dalam mimpiku. Begitu jelas. Laras? Aku tercengang. Laras adalah teman kuliahku di Pasca Sarjana. Sudah hampir dua semester ini aku kuliah lagi di salah satu PT terkenal di Jakarta. Ia sangat cerdas dan rasional. Ia juga kerap membantaiku dalam diskusi-diskusi di ruang kuliah.

”Menurut saya, teori yang saudara gunakan untuk menganalisa persoalan ini tidak tepat. Terlalu dipaksakan…” Komentar Laras saat membantaiku seminggu sebelumnya terngiang kembali di telingaku. Komentar yang diucapkannya dengan santun itu selalu membuatku gelagapan. Komentarnya selalu logis, ilmiah dan sulit dibantah. Sudah berkali-kali aku dan teman-teman ’dibantainya’.

Ya, mengapa harus Laras? Perempuan yang kepribadiannya begitu kuat dan tenang, sampai tidak ada pria yang berani menjalin hubungan lebih dekat dengannya. Sebenarnya Laras baik, sangat baik. Ia tidak pernah segan membantu orang lain atau berkata kasar. Tetapi aku benar-benar sungkan menghadapinya. Apalagi membayangkan harus melamarnya.

Mimpi itu juga menyisakan pertanyaan buatku. Benarkah ini isyarat Allah? Atau, aku diam-diam menyukainya sehingga sosok Laras muncul dalam mimpiku. Aku bimbang.

“Bagaimana, Bram?” Mama meminta kejelasan dariku dua minggu kemudian. Aku hanya mampu tersenyum kecut.

“Belum ada calon? Apa perlu Mama bantu?” Mama menatapku.

Aku tergagap. “Tidak perlu, Ma. Saya akan mencoba mencari sendiri saja.” Mama tersenyum. Aku menarik napas lega. Untuk sementara aku berhasil menenangkan Mama.

Malamnya, aku mencoba menenangkan diri dan mulai sholat istikharah lagi. Kali ini, aku mencoba lebih tenang dan pasrah kepada Allah. Aku mencoba melepaskan segala kebimbangan dan sungguh-sungguh meminta keputusan-Nya.

Aku berjalan bersisian dengan Laras. Begitu dekat. Laras tersenyum. Manis dan sangat lembut. Mimpi itu lagi! Aku terbangun menjelang pukul tiga dinihari. Sebentuk perasaan aneh masih sempat kurasakan saat aku terbangun. Indah!

Apakah Laras memang jodohku? Pertanyaan itu kembali bermain dalam benakku. Aku mencoba menelisik kembali kejernihan hatiku. Benarkah aku memang tidak terobsesi kepada Laras? Aku mengurai kembali semua interaksiku dengan Laras. Sejak pertemuan pertama.

”Saya Laras!” Ia memperkenalkan diri dengan lugas, tanpa senyum. Juga tanpa jabat tangan. Aku hanya mengangguk.

”Bram.” Aku menyebutkan namaku. Dingin, tapi cukup sopan. Itu kesan pertamaku. Ia tidak genit atau cerewet seperti satu dua orang perempuan yang pernah kukenal. Seingatku, tidak pernah ada momen istimewa antara aku dengan Laras. Benar-benar hanya hubungan antar teman kuliah. Aku malah lebih akrab dengan Susi, teman kuliahku yang lain. Aku juga tidak pernah merasa ’aneh’ saat berinteraksi atau berpapasan dengannya. Bahkan ketika aku nyaris bertabrakan dengannya. Semua wajar dan biasa saja.

So? Aku masih tetap ragu. Kuputuskan untuk menunggu sampai benar-benar merasa yakin. Dan selama masa menunggu itu, terjadi suatu peristiwa yang semakin membuatku merasa ciut menghadapi Laras.

”Maaf…” Laras mengacungkan tangan. Semua mata tertuju kepadanya. Aku menahan napas. Apa yang akan dikatakannya kali ini. Aku berdebar-debar menunggu komentarnya atas makalah yang kupresentasikan.

”Menurut saya, makalah ini tidak memenuhi kualifikasi ilmiah.” kata-kata itu diucapkannya dengan nada meminta maaf. Aku terkejut. Makalah ini memang kusiapkan dengan terburu-buru. Pekerjaanku di kantor sedang bertumpuk. Beberapa teman menggumam. Dosenku tersenyum kecil. Ia sudah biasa menghadapi Laras.

Aku tersinggung dan merasa dipermalukan. Ini adalah komentar paling tajam yang pernah dilontarkan Laras kepadaku. Walaupun kemudian aku bisa menerimanya saat ia dengan argumentatif menjelaskan kelemahan makalahku.

Kejadian itu membuatku semakin ragu. Entahlah, barangkali aku merasa tidak siap mempunyai istri yang dapat membantaiku setiap saat. Atau mempertanyakan kebijakanku sebagai suami. Aku memang tidak terbiasa dipertanyakan seperti itu. Kedudukanku sebagai anak tertua dan tulang punggung keluarga membuat adik-adikku dan Mama memperlakukanku secara istimewa. Apa kata Mas saja, terserah Mas… Selalu itu yang kudengar dari mereka. Kalaupun mereka tidak sependapat denganku, tidak pernah ada yang secara lugas menyatakan ketidaksetujuannya. Begitu juga dengan bawahanku di kantor.

Aku semakin tidak berani menghadapinya setelah peristiwa itu. Jadi, untuk sementara aku terpaksa menenangkan diri lagi. Tapi desakan dari Mama tiga hari yang lalu membuatku terpaksa bertindak.

”Bram, mungkin sudah waktunya Mama membantu. Sudah sebulan, dan kamu belum juga bertindak apa-apa. Mama sudah semakin tua, Bram. Belakangan ini, Mama semakin sering sakit. Mama tidak ingin terjadi sesuatu pada diri Mama sebelum kamu menikah…” Mama berkata setengah memohon. Aku menunduk.

”Bram…”

Aku menatap Mama. Mama menarik napas panjang. Aku menunggu Mama bicara.

”Kalau tiga hari lagi tidak ada keputusan, Mama akan mencari calon untuk kamu. Kamu kenal Nita? Anak Bu Retno? Nita baik, lho… Dia juga cantik dan terpelajar…” Bla…bla…bla. Hampir lima belas menit Mama bercerita tentang Nita. Aku kenal Nita. Nita memang baik, tetapi bukan itu persoalannya. Aku ingin menuntaskan masalah Laras dulu.

Tidak ada jalan lain. Akhirnya, kumantapkan hatiku untuk bicara dengan Laras. Tapi, bagaimana caranya? Lewat telepon? Nomer telepon Laras saja aku tidak punya. Atau, mengajaknya bicara secara langsung? Bagaimana kalau ia menolak dan membantaiku seperti ia membantai makalahku?

Akhirnya, kuputuskan untuk meminta nomer telepon Laras dari Susi. Aku berhasil menghindar dari pertanyaan Susi dengan memberinya sebentuk senyuman aneh. Untungnya, ia tidak bertanya lebih jauh.

Malamnya, aku mencoba menelpon Laras. Aku menggenggam Hp-ku dengan perasaan tidak karuan. Dengan tangan gemetar aku menelponnya.

”Halo, Assalamu’alaikum!” Suaranya terdengar tegas. Tiba-tiba aku merasa tidak siap berbicara dengannya.

”Halo! Halo!”

Aku mematikan Hp-ku. Looser! Gerutuku dalam hati. Aku benar-benar tidak berdaya.

”Bram, waktunya tinggal hari ini.” Mama menatapku serius saat aku berpamitan tadi pagi.

”Ya, Ma. Aku usahakan.” Aku menjawab ragu.

Jadi, hari ini, mau tidak mau aku harus bicara dengan Laras. Aku berangkat ke kampus dengan gugup. Sampai di kampus, aku mencari-cari Laras. Sosoknya tidak kelihatan sampai kuliah dimulai. Lebih kurang lima belas menit setelah kuliah dimulai, Laras muncul. Ia menuju kearahku dan mengambil tempat di sebelahku, satu-satunya tempat kosong yang tersisa siang itu. Laras duduk dengan tenang di sebelahku dan segera mengikuti kuliah. Aku semakin gelisah. Tubuhku mulai berkeringat.

Kuliah usai. Aku menunggu kesempatan untuk bicara dengannya. Aku sengaja memperlambat berkemas sambil menunggunya. Satu persatu teman kuliah meninggalkan ruangan. Akhirnya, setelah ruangan cukup sepi, aku memberanikan diri untuk bicara dengannya.

”Laras! Boleh saya bicara?”

Laras menghentikan kesibukannya membereskan buku-buku dan beberapa makalah yang berserakan.

“Ya.” Ia melanjutkan kesibukannya tanpa menatapku sama sekali.

Tanganku gemetar. Suaraku tersekat di tenggorokan.

”Ada yang bisa saya bantu?” Laras akhirnya melihat ke arahku. Ia mulai kelihatan tidak sabar dengan sikapku. Ia sudah selesai membereskan buku-bukunya.

Aku masih tidak mampu bicara. Keringat dingin semakin membasahi tubuhku. Ya Allah, aku benar-benar grogi.

”Bram!” suara Laras meninggi.

Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sejenak. Yudi, satu-satunya teman yang masih berada di ruang kuliah menoleh ke arah kami.

“La..ras…” Suaraku tersendat.

Laras menatapku bingung.

“Ehm…would you…ehm…marry me?” aku tergagap. Akhirnya, keluar juga perkataan itu dari mulutku.

Laras menatapku heran. Ia menunduk, berpikir sejenak. Aku menunggu. Rasanya seperti menunggu sebuah vonis.

”Kupikir, itu bukan ide yang baik.” Katanya setelah beberapa menit terdiam. ”Aku duluan, Bram. Assalamu’alaikum…”

Aku terpana. Aku masih juga terpana saat tiba-tiba Yudi menepuk pundakku.

“Apa tidak ada cara yang lebih romantis, Bung?” Yudi tersenyum. Aku salah tingkah.

Begitulah, proses perjodohanku terpaksa kandas di tengah jalan. Aku tidak patah hati. Tentu saja karena aku memang tidak pernah jatuh cinta pada Laras. Tetapi kuakui, aku cukup terpukul dengan kenyataan ini. Ternyata, aku tidak cukup pandai membaca isyarat Allah. Atau, caraku yang tidak baik? Melamar di ruang kuliah tanpa prolog seperti itu memang naif sekali.

Sore itu aku pulang dengan lemas. Mama duduk di teras, sedang asyik dengan koran sore dan secangkir teh hangat. Setelah mencium tangan Mama, aku menghempaskan tubuh di kursi.

Mungkin Mama bisa menangkap kegetiranku. Mama mengusap rambutku. Aku bersyukur Mama tidak membuka pembicaraan mengenai perjodohanku. Aku tidak siap.

Sepanjang sore itu aku mencoba menenangkan diri. Aku mencoba bersikap realistis menghadapi kenyataan ini. Aku percaya, Allah akan memberikan seorang pendamping untukku.

Pikiranku masih tidak menentu saat aku bangun tadi pagi. Aku sholat istikharah lagi tadi malam. Tapi kali ini, aku tidak memperoleh isyarat apa-apa. Akhirnya, kuputuskan untuk bicara dengan Mama. Toh, Nita gadis yang baik juga.

Aku mendahului bicara sebelum Mama bertanya tentang keputusanku.

”Ma…”

”Ya? Kenapa, Bram?”

”Aku…” Aku terdiam sejenak. Aku baru akan melanjutkan ucapanku saat sebuah pesan masuk. Aku meraih HP yang tergeletak di meja dengan enggan.

Laras???

Apa lagi yang akan dikatakannya sekarang? Berdebar aku membuka pesannya.

Setelah saya pikirkan lagi, ide kamu tidak terlalu buruk. Tawarannya masih berlaku?

Aku terpana. Hidup memang penuh kejutan.

(Pasar Minggu, 16 Januari 2003)



Sumber : Majalah Ummi, No. 10/XIV Februari – Maret 2003/1423 H

Tak Cukup Hanya Cinta

(Sumber : http://bundanaila.blogspot.com)



“Sendirian aja dhek Lia? Masnya mana?”, sebuah pertanyaan tiba-tiba mengejutkan aku yang sedang mencari-cari sandal sepulang kajian tafsir Qur’an di Mesjid komplek perumahanku sore ini. Rupanya Mbak Artha tetangga satu blok yang tinggal tidak jauh dari rumahku. Dia rajin datang ke majelis taklim di komplek ini bahkan beliaulah orang pertama yang aku kenal disini, Mbak Artha juga yang memperkenalkanku dengan majelis taklim khusus Ibu-ibu dikomplek ini. Hanya saja kesibukan kami masing-masing membuat kami jarang bertemu, hanya seminggu sekali saat ngaji seperti ini atau saat ada acara-acara di mesjid. Mungkin karena sama-sama perantau asal Jawa, kami jadi lebih cepat akrab.


“Kebetulan Mas Adi sedang dinas keluar kota mbak, Jadi Saya pergi sendiri”, jawabku sambil memakai sandal yang baru saja kutemukan diantara tumpukan sandal-sendal yang lain. “Seneng ya dhek bisa datang ke pengajian bareng suami, kadang mbak kepingin banget ditemenin Mas Bimo menghadiri majelis-majelis taklim”, raut muka Mbak Artha tampak sedikit berubah seperti orang yang kecewa. Dia mulai bersemangat bercerita, mungkin lebih tepatnya mengeluarkan uneg-uneg. Sebenarnya aku sedikit risih juga karena semua yang Mbak Artha ceritakan menyangkut kehidupan rumahtangganya bersama Mas Bimo. Tapi ndak papa aku dengerin aja, masak orang mau curhat kok dilarang, semoga saja aku bisa memetik pelajaran dari apa yang dituturkan Mbak Artha padaku. Aku dan Mas Adi kan menikah belum genap setahun, baru 10 bulan, jadi harus banyak belajar dari pengalaman pasangan lain yang sudah mengecap asam manis pernikahan termasuk Mbak Artha yang katanya sudah menikah dengan Mas Bimo hampir 6 tahun lamanya.

“Dhek Lia, ndak buru-buru kan? Ndak keberatan kalo kita ngobrol-ngobrol dulu”, tiba-tiba mbak Artha mengagetkanku. ” Nggak papa mbak, kebetulan saya juga lagi free nih, lagian kan kita dah lama nggak ngobrol-ngobrol”, jawabku sambil menuju salah satu bangku di halaman TPA yang masih satu komplek dengan Mesjid.

Dengan suara yang pelan namun tegas mbak Artha mulai bercerita. Tentang kehidupan rumah tangganya yang dilalui hampir 6 tahun bersama Mas Bimo yang smakin lama makin hambar dan kehilangan arah.

“Aku dan mas Bimo kenal sejak kuliah bahkan menjalani proses pacaran selama hampir 3 tahun sebelum memutuskan untuk menikah. Kami sama-sama berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja dalam hal agama”, mbak Artha mulai bertutur. “Bahkan, boleh dibilang sangat longgar. Kami pun juga tidak termasuk mahasiswa yang agamis. Bahasa kerennya, kami adalah mahasiswa gaul, tapi cukup berprestasi. Walaupun demikian kami berusaha sebisa mungkin tidak meninggalkan sholat. Intinya ibadah-ibadah yang wajib pasti kami jalankan, ya mungkin sekedar gugur kewajiban saja. Mas Bimo orang yang sabar, pengertian, bisa ngemong dan yang penting dia begitu mencintaiku, Proses pacaran yang kami jalani mulai tidak sehat, banyak bisikan-bisikan syetan yang mengarah ke perbuatan zina. Nggak ada pilihan lain, aku dan mas Bimo harus segera menikah karena dorongan syahwat itu begitu besar. Berdasar inilah akhirnya aku menerima ajakan mas Bimo untuk menikah”.

“Mbak nggak minta petunjuk Alloh melalui shalat istikharah?”, tanyaku penasaran. “Itulah dhek, mungkin aku ini hamba yang sombong,untuk urusan besar seperti nikah ini aku sama sekali tidak melibatkan Alloh. Jadi kalo emang akhirnya menjadi seperti ini itu semua memang akibat perbuatanku sendiri”

“Pentingnya ilmu tentang pernikahan dan tujuan menikah menggapai sakinah dan mawaddah baru aku sadari setelah rajin mengikuti kajian-kajian guna meng upgrade diri. Sejujurnya aku akui, sama sekali tidak ada kreteria agama saat memilih mas Bimo dulu. Yang penting mas Bimo orang yang baik, udah mapan, sabar dan sangat mencintaiku. Soal agama, yang penting menjalankan sholat dan puasa itu sudah cukup. Toh nanti bisa dipelajari bersama-sama itu pikirku dulu. Lagian aku kan juga bukan akhwat dhek, aku Cuma wanita biasa, mana mungkin pasang target untuk mendapatkan ikhwan atau laki-laki yang pemahaman agamanya baik”, papar mbak Artha sambil tersenyum getir.

SpongeBob Kesukaan Kita Semua





















Selasa, 20 April 2010

Sajak-sajak Sapardi Djoko Damono

AKU INGIN

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

–oOo–


BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI HARI

waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan

–oOo–

KAMI BERTIGA

dalam kamar ini kami bertiga:
aku, pisau dan kata –
kalian tahu, pisau barulah pisau kalau ada darah di matanya
tak peduli darahku atau darah kata

–oOo–

MATA PISAU

mata pisau itu tak berkejap menatapmu
kau yang baru saja mengasahnya
berfikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu

–oOo–

TENTANG MATAHARI

Matahari yang di atas kepalamu itu
adalah balonan gas yang terlepas dari tanganmu
waktu kau kecil, adalah bola lampu
yang di atas meja ketika kau menjawab surat-surat
yang teratur kau terima dari sebuah Alamat,
adalah jam weker yang berdering
sedang kau bersetubuh, adalah gambar bulan
yang dituding anak kecil itu sambil berkata:
“Ini matahari! Ini matahari!”
Matahari itu? Ia memang di atas sana
supaya selamanya kau menghela
bayang-bayanganmu itu.

–oOo–




Puisi Romantis

Sajak Seorang Tua untuk Istrinya ~ WS Rendra


Aku tulis sajak ini

untuk menghibur hatimu

Sementara kau kenangkan encokmu

kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang

Dan juga masa depan kita

yang hampir rampung

dan dengan lega akan kita lunaskan.


Kita tidaklah sendiri

dan terasing dengan nasib kita

Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.

Suka duka kita bukanlah istimewa

kerna setiap orang mengalaminya.



Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh

Hidup adalah untuk mengolah hidup

bekerja membalik tanah

memasuki rahasia langit dan samodra,

serta mencipta dan mengukir dunia.

Kita menyandang tugas,

kerna tugas adalah tugas.

Bukannya demi sorga atau neraka.

Tetapi demi kehormatan seorang manusia.



Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu

meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu.

Kita adalah kepribadian

dan harga kita adalah kehormatan kita.

Tolehlah lagi ke belakang

ke masa silam yang tak seorangpun kuasa menghapusnya.



Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.

Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.

Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit

melewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda.

Dan kenangkanlah pula

bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa

menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita.



Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.

Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.

Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.

Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,

nasib, dan kehidupan.



Dan seterusnya...

========================================================

Yang Pasti ~ Zurinah Hassan


Kau mungkin bukan lelaki terbaik

Tapi buat perempuan sepertiku

Mungkin tidak ada yang lebih

Darimu


Aku mungkin tidak mendapat segala-galanya

Tapi dengan keadaan begini

Aku tidak meminta

Yang lebih baik


Usahlah bertanya apakah aku bahagia

Aku juga tidak menyoal perasaanmu

Kerana kadang-kadang bila terlalu mau memasti

Orang jadi semakin ragu

Terlalu berbicara dan banyak menganalisa

Orang jadi semakin tidak tahu



Aku mungkin kurang pasti

Tentang apa yang telah kukatakan

Tapi yang pasti

Kita tidak perlu terlalu pasti

========================================================

Aku Ingin ~ Sapardi Djoko Damono



Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api

yang menjadikannya tiada



Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan

yang menjadikannya tiada



Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api

yang menjadikannya tiada



Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan

yang menjadikannya tiada

Puisi Rindu

Puisi Rindu I


rindu adalah keresahan hati

mengganggu pikir jiwa

menciptakan jati diri yang lemah

seperti dunia ini hampa

bila tanpa orang yang dicintai

(Moenthe Carlo)

====================================================


Puisi Rindu II


akan ke manakah angin melayang

tatkala turun senja nan muram

pada siapa lagu kuangankan

kelam dalam kabut rindu tertahan

datanglah engkau berbaring di sisiku

turun dan berbisik tepat di sampingku

belenggulah seluruh tubuh dan sukmaku

kuingin menjerit dalam pelukanmu

akan kemanakah berarak awan

bagi siapa mata kupejamkan

pecah bulan dalam ombak lautan

dahan-dahan di hati berguguran

(Emha Ainun Nadjib)

====================================================

Puisi Rindu III



rindu adalah tali yang tak pernah putus

merentang di tiang hati, di tiang mimpi

kadangkala di singgahi burung yang mengelakkan kabut

pada pagi dingin yang mengaburkan sinar matahari



rindu adalah tiang yang tak pernah tumbang

tegak dilorong kehidupan, disepanjang labuh usia

disitu tergantung lampu kenangan dan ingatan

biarpun hari semakin tua dan kelam sudah bermula

rindu adalah lorong yang tak pernah tertutup

dari musim ke musim ia menjadi laluan

pengembara yang mencari cintanya yang hilang

disitu rumput yang telah lama bertukar warna

bunga dan daun silih berganti segar dan kuncup



rindu adalah musim yang tak pernah tentram

resah datang gelisah berulang mengusik nasib

hanya dzikir dan do'a menjadi penawar mereda pedih dan sakit

dan sesekali puisi menjadi nyanyian yang mengharukan

dalam senyap air mata perlahan-lahan menitik

(Nurasiyah dan Imat R.)

Sajak Tentang Persahabatan


Dan seorang remaja berkata, Bicaralah pada kami tentang Persahabatan.



Dan dia menjawab:

Sahabat adalah keperluan jiwa, yang mesti dipenuhi.

Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau tuai dengan penuh rasa terima kasih.

Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu.

Kerana kau menghampirinya saat hati lupa dan mencarinya saat jiwa mahu kedamaian.



Bila dia berbicara, mengungkapkan fikirannya, kau tiada takut membisikkan kata "Tidak" di kalbumu sendiri, pun tiada kau menyembunyikan kata "Ya".

Dan bilamana dia diam,hatimu berhenti dari mendengar hatinya; kerana tanpa ungkapan kata, dalam persahabatan, segala fikiran, hasrat, dan keinginan dilahirkan bersama dan dikongsi, dengan kegembiraan tiada terkirakan.

Di kala berpisah dengan sahabat, tiadalah kau berdukacita;

Kerana yang paling kau kasihi dalam dirinya, mungkin kau nampak lebih jelas dalam ketiadaannya, bagai sebuah gunung bagi seorang pendaki, nampak lebih agung daripada tanah ngarai dataran.



Dan tiada maksud lain dari persahabatan kecuali saling memperkaya roh kejiwaan.

Kerana cinta yang mencari sesuatu di luar jangkauan misterinya, bukanlah cinta , tetapi sebuah jala yang ditebarkan: hanya menangkap yang tiada diharapkan.



Dan persembahkanlah yang terindah bagi sahabatmu.

Jika dia harus tahu musim surutmu, biarlah dia mengenali pula musim pasangmu.

Gerangan apa sahabat itu jika kau sentiasa mencarinya, untuk sekadar bersama dalam membunuh waktu?

Carilah ia untuk bersama menghidupkan sang waktu!

Kerana dialah yang bisa mengisi kekuranganmu, bukan mengisi kekosonganmu.

Dan dalam manisnya persahabatan, biarkanlah ada tawa ria dan berkongsi kegembiraan..

Karena dalam titisan kecil embun pagi, hati manusia menemui fajar dan ghairah segar kehidupan.

Kamis, 15 April 2010

Priok Membara

Rencana pembongkaran makam Mbah Priok yang memiliki nama lengkap Al Imam Al`Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad RA di Koja, Jakarta Utara kemarin berakhir ricuh. Sampai kemarin malam suasana di sekitar lokasi masih mencekam. Aksi sweeping dan pengejaran terhadap polisi dan Satpol PP terus berlangsung.


Massa terus merangsek masuk ke kawasan terminal peti kemas untuk memburu petugas Satpol PP dan Polisi yang terjebak di kawasan itu. Tak hanya itu warga kini mulai menjarah barang yang ada di kantor Pelindo.
Sekitar pukul 17.20 WIB, massa yang jumlah ratusan masuk ke areal kantor keamanan pos Pelindo dan menjarah barang-barang yang ada di dalamnya.
Selian merusak fasilitas yang ada di kantor Pelindo, mereka menjarah perlengkapan kantor, Ac, alat dan sejumlah peralatan lainnya.
Warga memeriksa hampir seluruh kawasan Pelindo untuk mencari Satpol PP yang masih berada di wilayah tersebut.

Baik petugas Satpol pp dan Polisi terus berlarian dan bersembunyi untuk menghindari aksi brutal warga. Bila keluar dari areal Pelindo, petugas Satpol PP dan Polisi akan berhadapat dengan warga yang makin brutal. Sementara itu mereka tetap terjebak di dalam Pelindo.
Belum diketahui siapa yang mengomandoi, setelah membakar mobil milik Polisi dan Satpol PP, kelompok massa juga membakar tiga pos di depan kantor PT Pelindo, Jalan Timur Raya.

Kendaraan roda dua milik wartawan RCTI juga ikut dibakar massa dan satu motor milik wartawan Global TV rusak parah. Sebelumnya, petugas kepolisian sampai harus mengeluarkan beberapa tembakan gas air mata untuk mengurai konsentrasi massa.

Sebelumnya, bentrok sengit berlangsung dua kali, pagi dan siang tadi. Kejadian ini mengakibatkan puluhan anggota Satpol PP masuk rumah sakit. Sebagian besar luka parah. Demikian juga dengan warga. Menjelang sore aksi mereda, namun kembali brutal dan berujung dengan pembakaran kendaraan.
Jumlah korban bentrok yang terjadi antara aparat dengan warga di Koja, Jakarta Utara terus bertambah. Hingga pukul 16.45 WIB, Rabu 14 Maret 2010, jumlah korban yang mengalami luka-luka mencapai 107 orang.

Data yang dikeluarkan RSUD Koja itu membeberkan, jumlah korban luka kebanyakan diderita aparat Satpol PP dan polisi.
Korban dari Satpol PP mencapai 57 orang, lima orang di antaranya harus menjalani operasi. Sedangkan dari polisi, korban luka mencapai 30 orang dan warga 20 orang, dua di antaranya harus dioperasi.

Sampai menjelang sore aksi bakar-bakar oleh massa kian banyak. Massa terus membakar kendaraan-kendaraan di sekitar lokasi bentrokan di Makam Mbah Priok, Jakarta Utara. Kepulan asap terbesar terlihat dari satu unit mobil truk.
Kepulan asap terbesar itu milik mobil truk container yang sudah dibakar massa. Truk itu berada di pintu masuk Pelabuhan Pelindo, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Truk besar itu terlihat masih mengangkut alat berat eskavator. Hingga kini, bagian kepala truk saja yang masih terbakar. Alat berat yang berada di punggungnya masih selamat. Tetapi tidak ada yang mencoba menyelamatkan.
Beberapa kali letusan terdengar di beberapa titik. Letusan-letusan itu terdengar dari sumber api, yakni kendaraan yang terbakar.

Selain membakar mobil-mobil milik Satpol PP, armada water canon milik Polri juga dibakar kelompok massa yang menolak rencana pembongkaran pendopo di areal makam Mbah Priok.

Sejauh ini, keberingasan massa belum ada yang mampu meredam. Aparat keamanan sendiri kewalahan menghadapi mereka.
Dampak bentrokan antara massa dan Satpol PP serta petugas kepolisian yang terjadi di komplek areal pemakaman Mbah Priok semakin meluas.
Petugas polisi lalu lintas akhirnya menutup Jalan Cilincing Raya. Sehingga semua kendaraan yang melintas jalan itu, kini harus memutar balik di depan RSUD Koja, Jakarta Utara.

Sore hari, Ustadz Habib Riziek Shihab memimpin doa di dekat makam Mbah Priok, di Koja, Jakarta Utara. Pemimpin Front Pembela Islam ini memimpin doa selama 10 menit yang diamini ratusan warga yang tertahan di makam.
Setelah memimpin doa, Habib meminta warga untuk tidak anarkis. Meski demikian, dia justru mendukung warga yang mempertahankankan situs bersejarah. "Wajar warga mempertahankan," kata dia.

Sebenarnya pada siang hari antara pemerintah dan pengelola ahli waris berunding di aula Masjid Jami At-Tauhid. Perundingan juga dihadiri Wakil Walikota Jakarta Utara Atma Senjaya, Kapolres Pelabuhan Tanjungpriok AKBP Rahmad Wibowo, dan Dandim Jakarta Utara Kolonel Irman Jaya.
Perundingan berjalan alot karena pengacara ahli waris, Yan Juanda Saputra tetap bertahan tidak akan terima jika areal makam dibongkar. Alasannya, sampai saat ini belum ada putusan pengadilan yang menetapkan bahwa lahan itu milik PT Pelindo II. Ia sendiri masih mengklaim lahan itu sebagai milik ahli waris berdasarkan verklaring No 1268/RB pada 19 September 1934.

Tahun 2001 ahli waris Habib Hasan Al Haddad mengajukan gugatan kepada PT Pelindo II melalui PN Jakarta Utara, namun pengadilan tidak menerima gugatan itu.

Saat itu, ahli waris tidak mengajukan banding sampai berakhirnya masa pengajuan banding. Dengan demikian, putusan No 245/Pdt.G/2001/PN.JKT.UT memiliki telah kekuatan hukum tetap.
“Jadi, berdasarkan surat tanah yang kami miliki, maka tanah ini sah milik kami,” kata Yan Juanda.

Sebelumnya, Wakil Walikota Jakarta Utara menyatakan penertiban gapura dan pendopo di makam Mbah Priok ini dinilai sudah sesuai dengan instruksi gubernur DKI nomor 132/2009 tentang penertiban bangunan.
Sebab, bangunan itu berdiri di atas lahan milik PT Pelindo II, sesuai dengan hak pengelolaan lahan (HPL) Nomor 01/Koja dengan luas 1.452.270 meter persegi.

Dalam bentrokan antara massa pengikut Mbah Priok dengan Satpol PP dipastikan dua orang jemaah habib dari pengajian di masjid makam keramat tersebut meninggal dunia.

Korban merupakan bocah berusia sekira 10 tahun dan seorang pemuda berumur 20 tahun. "Korban tewas itu sahid dan jaminannya jannah atau surga. Mereka membabi buta memukul anak kecil yang tidak berdosa," ungkap Zaki, jamaah Mbah Priok.

Saat ini,kata Zaki, kedua korban divisum di RSUD Koja. Meski mendapat serangan dari petugas Satpol PP yang akan membongkar bangunan liar dan PKL, ahli waris dan pengikut Mbah Priok tetap bertahan di dalam area makam.
"Kami masih tetap bertahan di sini. Ketika Satpol PP menyerang, mereka tidak bisa masuk ke makam hanya di luar," paparnya.

Hal senada dikemukakan Ketua DPD FPI DKI Jakarta Habib Salim Alatas. "Kami akan tetap bertahan dan tidak akan mundur," tandasnya. Kehadiran massa FPI diketahui lantaran ada kabar makam Mbah Priok akan dibongkar. Menurut Habib, pihaknya akan mencegah pihak-pihak yang akan membongkar makam keramat tersebut.

_The Other Side of My Life_ Copyright © 2011 | Template created by O Pregador | Powered by Blogger